TEMPO.CO, Jakarta - Sigit Purwanto gugup begitu mengetahui hasil uji usap menunjukkan dia terinfeksi virus corona pada pertengahan Juli lalu. Bersama 46 tenaga kesehatan, perawat Pusat Kesehatan Masyarakat Kecamatan Pundong, Bantul, Yogyakarta, dia menjalani tes swab karena kerap bersentuhan dengan pasien dan berisiko terpapar virus. Hanya dia seorang yang dinyatakan positif Covid-19.
Sigit tak memiliki gejala seperti batuk dan pilek. Ia akhirnya diinapkan di ruang isolasi bangsal khusus Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati, Bantul. "Istri stres dan menangis. Dalam suasana ketakutan, saya berusaha keras menenangkan diri," kata dia, Selasa, 11 Agustus 2020.
Lelaki berusia 43 tahun ini mendapat perawatan khusus dari dokter spesialis paru dan jantung karena dia memiliki riwayat gangguan irama jantung atau aritmia. Dokter menyatakan ada infeksi pada paru-paru Sigit.
Riwayat aritmia itulah yang membuat dokter yang merawat Sigit tak memberinya obat Chloroquine atau klorokuin. Obat ini digunakan sebagai satu di antara sejumlah pengobatan eksperimen untuk mengatasi Covid-19 sepanjang vaksin dan obat sesungguhnya belum tersedia. Masalahnya kloroquin menimbulkan efek samping serius pada jantung.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat atau FDA mencabut izin penggunaan darurat klorokuin untuk merawat pasien Covid pada 15 Juni lalu. FDA menilai obat tersebut tidak menyembuhkan pasien yang terinfeksi covid.
Brazil menghentikan penggunaan obat tersebut setelah beberapa pasien mengalami komplikasi jantung yang berpotensi fatal. Beberapa pasien yang menggunakan dosis tinggi obat ini mengalami detak jantung tidak teratur.
Sepuluh hari mengisolasi diri di rumah sakit, Sigit rajin mengkonsumsi vitamin c, antivirus, dan antibiotik. Dia mendapat banyak pasokan buah dari keluarganya. Makan makanan bergizi, rutin minum susu, dan kacang hijau.